Menu

Jumat, 27 Maret 2015

Sunan Muria

Sunan Muria (Raden Syaid)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah
adik ipar dari Sunan Kudus.

Makam sunan muria terletak di salah satu puncak bukit di lereng gunung muria, masuk desa colo, kec Dawe-Kudus. Seperti makam wali songo yang lainya, makam Sunan Muria terletak di dalam cangkup yang di tutupi tirai berupa kain tipis berwarna putih, untuk mencapai makam Sunan Muria, dari kaki gunung harus melewati jalan melingkar sejauh tuju kilo meter.

Nama pribadi Sunan Muria ada yang mengatakan Reden Prawoto, ada pula yang mengatakan Raden Umar Said, beliau di sebut dengan gelar Sunan Muria karena berhubungan dengan nama gunung tempat beliau di makamkan. Oleh karena Sunan Muria tergolong anggota Wali songo dari generasi yang lebih muda di banding Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Kisah hidupnya kurang di tulis lengkap oleh para penulis historiografi jawa kuno. Kisah hidup Sunan Muria termasuk silsilah dan nasab beliau, tidak cukup di catat dalam historiagrafi kecuali dalam tutur kata dengan sejumlah perbedaan, termasuk menyangkut dari mana Sunan Muria berasal.
Puncak Gunung Muria
Berbeda dengan para wali penyebar agama islam yang lebih tua, yang kisah hidupnya cukup banyak di tulis dalam kitab jawa kuno, seperti babad tanah jawa, tjirebon, babad banten dlsb. Kisah hidup dan asal-usul Sunan Muria lebih banyak di dasarkan pada cerita-cerita masyarakat legenda yang berkembang secara lisan di tengah masyarakat di sekitar Gunung Muria.
         
Dibanding Sunan Kudus dalam kisah menuntut dan megembangkan keilmuan, Raden Umar Said (Sunan Muria) kisah-kisahnya lebih tidak di dukung sumber tertulis. Jejak Sunan Muria menuntut ilmu pengetahuan, lebih berdasarkan cerita-cerita lisan yang bersifat legendaris. Namun dari cerita-cerita legenda itu, terdapat kemiripan antara kisah Sunan Muria dengan Sunan Kalijaga dalam mendalami keilmuan. Misalnya kisah Sunan Kalijaga yang yang di tuturkan telah bersemadi di pinggir sungai selama bertahun-tahun sampai tubuhnya di tumbuhi semak belukar. Demikianlah Sunan Muria, di kisahkan telah melakukan tapa Ngeli (bersemadi dengan menghanyutkan diri di sungai)

Kisah tapa ngeli yang di lakukan Sunan Muria mengingatkan pada kisah pewayangan lakon dewa ruci yang sering di pergelarkan oleh Sunan Kalijaga. Sekalipun kisah asli cerita Dewa Ruci di ambil dari naskah kuno Nawa Ruci Gubahan Empu Syiwamurti pada masa ahir majapahit, namun masyarakat lebih mengenal Sunan Kalijaga sebagai tokoh yang mempopulerkan cerita tersebut karena di tampilkan dalam bentuk pertunjukan wayang. Inti kisah Nawa Ruci menuturkan, perjalanan rohani tokoh bima (yang kuat) yang juga memiliki nama werkudoro (srigala) yang masuk ke lawanaudadhi (samudranya-samudra) yang luas tanpa batas. Dan di dalam lawana-udadhi Bima bertemu dengan sang hyang murtati nawaruci yang menggunakan hindustik ke dalam islami, seperti werkudoro (srigala) yang di maknai dengan nafs Hayawaniyyah, lwana-udadhi samudranya samudra di maknai dengan bahrul wujud sehingga membuat kisah Nawa Ruci di gemari umat Islam.
Gerbang Tangga makam Sunan muria
Dalam konteks keilmuan dapat di tafsirkan bahwa Sunan Muria mempelajari ilmu pengetahuan agama maupun cara-cara dakwah dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Kalijaga, namun ada juga cerita sumber lisan tentang "maling kapa" yang salah satu bagaianya menuturkan bahwa Sunan Muria pernah berguru kepada Sunan Ngerang (Ki Ageng Ngerang) bersama-sama dengan Sunan Kudus dan Adipati Pethak Warak serta dua bersaudara Kapa dan Gentiri. 

Selama berguru dengan Sunan Ngerang, di kisahkan bahwa suatu saat Sunan Ngerang mengadakan syukuran untuk putrinya Dewi Roroyono yang usianya Genap Dua puluh tahun. Para murid seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pethak Warak dari Mandalika Jepara Kapa dan Adiknya Gentiri di undang untuk Hadir. Ketika Dewi Roroyono dan adiknya Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan di minuman, hati Adipati Pethak Warak dari Mendalika Jepara terpesonan oleh kecantikan putri gurunya tersebut, putri Sunan Ngerang itu sudah membuat Adipati Pethak Warak oleh kecantikan putri gurunya itu. 
                                                             Masjid Sunan Muria
Sehingga membuat adipati Pethak Warak tergila-gila dan melakukan tindakan tidak pantas terhadap putri gurunya itu bahkan pada malam hari Dewi Roroyono di bawa lari ke Mandalika sewaktu Sunan Ngerang mengetahui putrinya di culik oleh Pethak warak, ia berikrar akan menikahkan putrinya dengan siapa saja yang bisa membawanya kembali. Setelah melalui berbagai rintangan yang berat, termasuk melumpuhkan Adipati Pethak Warak, membinasakan Kapa dan Gentiri yang berhianat, Raden Umar Said berhasil membawa kembali Dewi Roroyono, lalu Sunan Ngerang menjodohkan putrinya Dewi Roroyono dengan Raden Umar Sait(Sunan Muria).
               
Dalam melakukan dakwah,sunan muria memilih pendekatan sebagai mana ayahhandanya sunan Kalijaga.tradisi keagamaan lama yang di anut masyarakat tidak di hilangkan,melainkan di beri warna islam dan di kembangkan menjadi teradisi keagamaan baru yang bercorak islam.Demikian tradisi bancakan dengan tumpeng yang biasa di persembahkan ke tempat-tempat angker di ubah menjadi kenduri,yaitu upacara mengirim doa arwah leluhur dengan menggunakan doa-doa islam di rumah orang yang menyelengarakan kenduri.dalam usaha menyiarkan agama islam sesuai pemahaman masyarakat,sunan muria mengikuti jejak sunan Kalijaga dan wali-wali yang lain,yaitu melalui bahasa Tembang.

Sebagaimana dimaklumi, menjelang masa akhir Majapahit terjadi kemerosotan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi), yang tercermin pada keterputusan tradisi penulisan kakawin tiruan kawya Sansekerta dan kidung, sebagaimana digunakan dalam karya-karya sastra pada zaman kejayaan Kediri hingga Majapahit. Para pujangga di era kerajaan-kerajaan Islam Jawa yang sudah sangat merosot pengetahuannya tentang bahasa Kawi dan penulisan kakawin banyak menggunakan bentuk macapat dan tembang gede.

Mengenai kemerosotan pengetahuan bahasa dan penulisan kakawin ini, Poerbatjaraka memaparkan pendapatnya, " ketika pada masa sesudah Majapahit para penyair tidak mampu lagi untuk memenuhi syarat-syarat persajakan Jawa Kuno yang sukar itu, maka mereka melepaskan diri dari kaidah-kaidah yang mengatur panjang dan pendeknya suku-suku kata. Di pulau Jawa, mereka tetap memakai bentuk baru itu untuk sementara waktu, tetapi kemudian sama sekali ditinggalkan yaitu pada suatu saat yang rata-rata bertepatan dengan waktu ketika agama Islam masuk ke sini.
                               Jalur Antrian Makam Sunan Muria
Generasi awal masyarakat Islam yang keberadaannya dikembangkan Wali Songo, dengan pengetahuan dan pemahaman yang terbatas pada tradisi kakawin dan kidung, kemudian mengembangkan tradisi kakawin dan kidung, kemudian mengembangkan tradisi penulisan tembang gede (metrum besar). Sekalipun aturan persajakannya berdasarkan metrum kakawin dengan mempertahankan bait-bait yang terdirir atas empat baris dengan sejumlah suku kata tertentu, tetapi mereka melepaskan sama sekali kaidah-kaidah mengenai kuantitas metrum kakawin. Para wali penyebar Islam bahkan mengembangkan lagi bentuk tembang gede menjadi tembang yang lebih sederhana, yaitu tembang tengahan (metrum madya) dan tembang cilik (metrum kecil). Jenis tembang gede disebut Girisa. Tembang tengahan diklasifikasi menjadi lima jenis : (1) Gambuh, (2) Megatruh, (3) Balabak, (4) Wirangrong, dan (5) Jurudemung. Sedangkan tembang cilik diklasifikasi menjadi sekitar sembilan jenis: (1) Kinanthi, (2) Pucung, (3) Asmaradhana, (4) Mijil, (5) Maskumambang, (6) Pangkur, (7) Sinom, (8) Dhandhaanggula, dan (9) Durma.

Di dalam tradisi penulisan tembang, masing-masing tokoh Wali Songo kecuali Sunan Ampel dan Sunan Gresik yang berasal dari Champa dihubungkan denggan berbagai penciptaan tembang. Tokoh Sunan Giri, misal, dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Dhandhanggula, Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Durma, Sunan Kudus dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Maskumambang dan Mijil, Sunan Drajat dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis pangkur, Sunan Muria dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi.
         Pemandangan kota Jepara di sekitar tahun 1650, dengan latar belakang Gunung Muria
Secara umum,cerita-cerita legenda yang menyangkut sunan Muria tidak saja menuturkan bagai mana kesaktian,kedermawanan,kekeramatan,dan ketangguhanya dalam berdakwah melalui seni serta budaya.sunan Muria juga di kisahkan bisa menciptakan suasana aman daerah di sekitarnya yang rusuh dengan menaklukan para begal dan perampok yang terkenal ganas dan kejam.salah satu kisah legenda yang menuturkan sunan Muriamenaklukan para begal dan perampok adalah kisah kyai Mashudi,yang semula adalah seorang perampok lalu sadar dan menyerah kepada sunan Muria.kyai Mashudi yang sebelumnya di kenal ganas dan kejam itu setelah bertobat di kenal sebagai orang yang sangat taat beribadah.oleh karena peranan sunan Muria dalam Pengembangan dakwah islam di daerah Jepara,tayu,juwana dan Kudus sangat Besar.maka Makamnya sampai Sekarang di ziarahi oleh umat islam sekitar maupun umat islam dari daerah lain di indonesia.

Tidak ada komentar :