Menu

Jumat, 27 Maret 2015

Sunan Bonang


Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad.
Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa
bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.

Makam Sunan Bonang terletak di komplek pemakaman Kutorejo,Kecamatan Tuban tepat di dalam kota Tuban.tepatnya di sebelah barat alun-alun Tuban,di sebelah barat Masjid Agung Tuban. Makam Sunan Bonang di kelilingi tembok dengan empat buah pintu gerbang yang masuk ke komplek makam.pintu gerbang di makam Sunan Bonang berupa gapura padurasa.pintu gerbang di sebelah selatan berbentuk "Semar Tinandu" dengan atap berhias ornamen bunga-bunga dengan dinding di kanan dan kirinya di hiasi piring-piring dan mangkuk keramik cina.

Makam Sunan Bonang terletak di dalam sebuah pangkup yang berbentuk joglo dengan atas bertingkat.pada dinding ini terdapat candra sengkolo "jalma wihana kayuning sawit-jagat" yang menunjuk angka tahun 1611 saka(1689 masehi) yaitu angka tahun yang menunjukan waktu di bangunya cangkup tersebut.

Sunan Bonang adalah putra ke empat Sunan Ampel dengan perkawinan dari Nyi Ageng Manila putri Arya Tejo, Bupati Tuban menurut babad "rasaking majapahit dan babad tjirebon". Kakak-kakak Sunan Bonag adalah Nyai Fatimah yang bergelar Nyai Gendeng Panyuran, Nyai Wilis alias Nyai Pengulu dan Nyai Taluki bergelar Nyai Gendeng Maloka. Adik Sunan Bonang adalah  Raden Qasim yang kelak menjadi wali songo dan di kenal dengan sebutan Sunan Drajat. Sunan Bonang lahir dengan nama kecil Mahdum Ibrahim menurut "babad tanah jawi" Sunan Bonang di perkirakan lahir sekitar tahun 1465 masehi.
     Gapura depan makam Sunan Bonang
Selain memiliki empat sodari seibu, Sunan Bonag juga memiliki beberapa orang saudari dari lain ibu.di antaranya adalah Dewi Martisiyah yang di peristri Sunan Giri dan Dewi Mortasimah  yang di peristri Raden Patah oleh kerena ibu kandungya berasal dari Tuban,dan adik kandung ibunya,Arya Wilatika, menjadi Bupati Tuban, Sunan Bonang sejak kecil memiliki hubungan kusus dengan keluarga Bupati Tuban yang sampai wafatpun ia di makamkan di tuban. Kisah hubungan dekatnya dengan Sunan Kalijaga yang dalam legenda di kisahkan sebagai hubungan Guru-murid hendaknya di lihat dari konteks kekeluargaan Arya Wilantika Adipati Tuban yang merupakan paman Sunan Bonang adalah ayah dari Sunan Kalijaga.
Komplek makam Sunan Bonang
Dalam hal keilmuan, Sunan Bonang belajar keilmuan dan ilmu agama dari ayah handanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Patah dan Raden Kusen. Selain dari Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishak, yaitu waktu bersama-sama dengan Raden Paku/Sunan Giri ke Malaka dalam perjalanan haji ke tanah suci. Sunan Bonang di kenal sebagi penyebar islam yang menguasai ilmu Fikih, Ushuluddin, Tasawuf, Seni, Sastra, Arsitektur dan ilmu silat dengan kesaktian dan kadikdayaan yang menajubkan. Bahkan masyarakat mengenal sunan bonang sebagai seorang yang sangat pandai dalam mencari sumber air di tempat-tempet yang sulit air.

Sunan Bonang memiliki karomah yang luar biasa yang di tunjukan saat ia di tantang Anjar Blacak Ngilo untuk sabung ayam dengan taruhan siapa yang kalah akan menjadi pengikut yang menang dengan memerintahkan seorang muridnya, santri wujil, Sunan Bonang menjagokan seekor anak ayam(khutuk) untuk menghadapi ayam aduan Anjar Blacak Ngilo, dituturkan bagaimana anak ayam itu setiap kali kalah, tubuhnya semakin besar setiap kali di beri tiupan nafas oleh santri wujil, sampai akhirnya dengan sekali serang ayam adduan Anjar Blacak Ngilo tewas, sehingga membuat santri wujil bersorak kegirangan "wus sesawung ngegiro amales gitik pan angglis,waungnya anjar yekti, kapisanan ampan lampus, wusa dadi gandhen enggal, ki wujil jogeti ngarsi, sarwi keplok amencak cara makasar"

Jembatan sungai Brantas tahun 1922
"Babad Daha Kediri" mengambarkan bagai mana Sunan Bonang dengan pengetahuanya yang luar biasa bisa mengubah aliran sungai brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima dakwah islam di sepanjang aliran sungai menjadi kekurangan air bahkan sebagian yang lain mengalami banjir, sepanjang perdebatan dengan tokoh boto locaya yang selalu mengecam tindakan dakwah Sunan Bonang, terlihat sekali bahwa tokoh buto Locaya tidak kuasa menghadapi kesaktian Sunan Bonang. Demikian juga dengan tokoh Nyai Pluncing, yang kiranya seorang Bhairawi penerus ajaran ilmu hitam Calon arang, yang dapat di kalahkan dengan Sunan Bonang.

Sunan Bonang dalam dakwah di ketahui mengunakan pendekatan yang lebih mengarah kepada hal-hal bersifat seni dan budaya.sebagai mana hal serupa di lakukan Sunan Kalijaga, muridnya.selain di kenal sering berdakwah dengan menjadi seorang dalang yang memainkan wayang, Sunan Bonag juga piawai mengubah tembang-tembang macapat. Sunan Bonang banyak belajar seluk-beluk kesenian dan budaya jawa,yang membuatnya memahami seluk beluk yang berkaitan dengan kesusatraan jawa. Sunan Bonang juga menyesun kitab Primbon Bonang.
Bonang yang di kaitkan dengan Sunan Bonang
Menurut babad daha-kediri, uasaha dakwah awal yang dilakukan sunan bonang di pedalaman Kediri adalah dengan pendekatan yang cenderung bersifat kekerasan, putra Sunan Ampel itu tidak sekedar di kisakan merusak Arca yang di puja penduduk, melainkan telah pula mengubah aliran sungai brantas dan mengutuk penduduk suatu desa gara-gara salah satu orang warga untuk menjalankan dakwah islam di pedalaman, Sunan Bonang di kisahkan mendirikan "Langgar" (Mushola) pertama di tepi barat sungai brantas, tepatnya di desa Singkal (sekarang masuk wilayah Kabupaten Nganjuk).
Masjid Agung Tuban sebelum di renovasi
Sebagai akibat pendekatan dakwahnya yang keras itu, dalam "babad daha kediri" di kisahkan sebagaimana Sunan Bonang menghadapi resistensi dari penduduk kediri berupa konflik dalam bentuk perdebatan maupun pertarugan fisik dengan Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing yang kiranya musuh-musuh Sunan Bonang itu menunjuk pada tokoh-tokoh penganut ajaran Bhairawa-Bhairawi. di daerah Kediri.

Dalam berdakwah, Raden Mahdum Ibrahim dikenal sering menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat. Salah satunya dengan perangkat gamelan jawa yang disebut bonang, kata "bonang" berasal dari suku kata bon + nang = babon + menang = baboning kemenangan = induk kemenangan. bonang sendiri adalah jenis alat musik dari bahan kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah, mirip gong ukuran kecil. Pada masa lampau, alat musik ini selain digunakan untuk gamelan pengiring pertunjukan wayang, juga digunakan oleh aparat desa untuk mengumpulkan warga dalam rangka penyampaian wara-wara dari pemerintah kepada penduduk.

Masjid Agung Tuban sekarang
Dalam proses reformasi seni pertunjukan wayang, Sunan Bonang dikenal sebagai dalang yang membabar ajaran rohani lewat pergelaran wayang. Sunan Bonang juga telah menambah ricikan ( kuda, gajah, harimau, garuda , kereta perang dan rampogan ) dalam pengembangan pertunjukan wayang sehingga memperkaya pertunjukan wayang. Sunan Bonang yang dikenal menguasai pertunjukan wayang dan memiliki pengetahuan mendalam tentang kesenian dan kesusteraan jawa, juga diketahui telah menggubah sejumlah tembang tengahan macapat. Salah satu dari gubahan Sunan Bonang dalam tembang macapat yang termashur adalah kidung Bonang yang disampaikan dalam pupuh Durma. sebagai berikut :
Ana kidung kidunge pangeran/ ara namung ara sakit/tekane king sabrang/rupane aran abang/kapunah ing rasul muji/penyakit ilang/kari waluya jati// dan seterusnya

Dilihat dari isinya kidung Bonang ini memiliki kemiripan subtantif dengan kidung Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Keduanya merupakan tembang yang berisi semacam mantra untuk menangkis segala macam penyakit dan pengaruh jahat yang merugikan manusia.

Sunan Bonang dikenal sebagai penggubah tembang-tembang jawa dan membuat berbagai jenis gending untuk berdakwah. Bahkan ia dianggap sebagai salah seorang penemu alat musik gamelan jawa yang disebut bonang, yaitu nama gamelan yang diambil dari nama tempat  yang menjadi kediaman Sunan Bonang, yaitu Desa Bonang di daerah Lasem.
Sumur srumbung peninggalan Sunan Bonang
Di dalam cerita historiografi, Sunan Bonang dikisahkan sebagai seorang penyebar dakwah Islam yang ulet dan gigih, yang selalu mampu memanfaatkan peluang untuk mengajak orang seorang menjadi muslim. Serat kandhaning Ringgit Purwa menuturkan, bagaimana Sunan Bonang yang menempatkan Ki Pandan Arang di Pulau Tirang untuk mengembangkan Islam, telah menjadi sebab bagi masuk islamnya sejumlah penduduk, terutama para ajar (pendeta) di pulau tersebut.

Bahkan sewaktu Batoro Katong, putra Prabu Brawijaya V yang pernah berjanji akan memeluk islam jika ayahnya sudah meninggal, janjinya ditagih oleh Sunan Bonang lewat seorang utusannya, Syaikh Wali Lanang, sewaktu kabar mangkatnya Prabu Brawijaya tersebar luas dan Batoro Katong belum memenuhi janji. Namun sebelu bertemu Syaikh Wali Lanang, Batoro Katong dikisahkan pergi ke Pulau Tirang dan memelik islam di bawah bimbingan Ki Pandan Arang.

Dalam naskah Sadjarah Dalem, yang berisi silsilah raja-raja mataram - surakarta, Sunan Bonang disebut namanya sebagai Pangeran Mahdum Ibrahim dengan gelar Sunan Wadat Anyakrawati. Sebutan Anyakrawati menimbulkan asumsi yang mengarah kepada dua hal.

Pertama  Anyakrawati dalam kaitan dengan makna orang yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam hal mengajarkan sesuluking ngekmi (ilmu esoteri yang rahasia) dan agami (agama). dengan memahami isi Primbon Bonang yang memuat ajaran tasawuf yang tinggi.yang menunjukan pada kualitas pengetahuan rohani penyusun yaitu, Sunan Bonang maka gelar Anyakrawati sangat dapat di peruntukan pada Sunan Ampel tersebut.

Kedua Anyakrawati atau Cakrawati dapat di asumsikan terkait denagn gelar pemimpin lingkaran upacara pancamakara atau ma-lima di kestra yang di sebut Cakreswara. Kiranya pengalaman selama di kediri telah membuat Sunan Bonang dengan dakwahnya kemudian melakukan suatu pendekatan bersifat asimilatif dengan memberikan corak dan warna islam terhadap upacara ritual keagamaan tantrayana yang ada kedewasaan itu, yaitu mengubah upacara pancamakara atau ma-lima yang di tandai jamaah duduk melingkari makanan di tengah-tengah dengan seorang Cakreswara (imam) sebagai pemimpin ritual yang membaca doa menjadi upacara kenduri atau selamatan dengan doa-doa Islam.

Sebutan Anyakrawati atau Cakrawati (pemimpin lingkaran cakra) kiranya di berikan kepada Sunan Bonang yang mewakili tradisi lingkaran kenduri atau selamatan yang di adaptasi dari upacara"pancamakara", menurut catatan sejarah dalem Sunan Bonang dikisahkan hidup tidak menikah atau membujang sampai wafatnya.

Tidak ada komentar :